Komikus Perempuan Bercerita tentang Perempuan
Apa yang kita bayangkan tentang komik Indonesia? Barangkali dari sebagian kita akan langsung menyebut beberapa karya komik populer, katakanlah seperti "Sri Asih" (RA Kosasih), "Si Buta Dari Gua Hantu" (Ganes TH), "Gundala" (Hasymi), "Panji Tengkorak" (Hans Jaladara), atau "Api di Bukit Menoreh" (Jan Mintaraga).
Bayangan itu tidak terlalu meleset. Memang, masa kejayaan komik Indonesia masih lekat dengan karya-karya yang beredar di tahun 1970-an hingga 1980-an. Meski telah muncul karya-karya baru, judul-judul lama itu masih dianggap mewakili era kejayaan komik di negeri ini.
Jika disederhanakan, komik-komik tersebut umumnya mengambil tema romantika percintaan, pewayangan, silat, dan superhero. Setiap cerita diramu dari adegan visual runut yang terdiri dari gambar, teks, serta dilengkapi berbagai unsur dramatiknya. Satu hal lagi, para komikus yang populer masa itu hampir semuanya lelaki.
Loncat jauh ke masa kini, muncul juga karya komik yang juga semakin popular. Sebut saja, antara lain, "Thilalats" (Nurfadli Musryid), "Si Juki" (Faza Meonk), "Garudayana" (Is Yuniarto). Karya-karya itu lebih mengulik kehidupan sehari-hari masyarakat urban yang seru dan konyol. Pada masa sekarang, komikus laki-laki juga masih dominan.
Sebenarnya ada sejumlah perempuan yang juga aktif membuat komik, tetapi kurang terekspos dalam sejarah komik Indonesia. Meski tidak sedominan laki-laki, para perempuan itu juga menghasilkan karya yang menarik dari sisi tema, estetika, dan juga mencerminkan kehidupan masyarakat. Kiprah komikus perempuan itu dapat dilacak sejak tahun 1970-an sampai sekarang.
Pada tahun 1970-an, tercatat nama Wied Sendjayani (biasa dituliskan Wied Sendja). Pelukis dan penari itu cukup produktif menghasilkan komik masa itu yang dipublikasikan oleh Penerbit Prasidha Solo. Beberapa judul cukup diterima di pasaran, seperti "Ranjang Pengantin" dan "Jalan Masih Panjang". Karya-karyanya banyak mengulik romantika kehidupan masyarakat pada tahun 1970-an. Gaya visualnya juga mengingatkan kita pada komik-komik yang "trending" pada masa itu, khususnya komik silat atau superhero.
Wied Sendja menggambarkan cerita muda-mudi pada zamannya dengan goresan tinta hitam-putih yang pekat. Karakter-karakter umumnya ditampilkan dalam landscape kehidupan kota masa itu, seperti di rumah di perkotaan, di jalanan, atau gereja. Dandanan mereka cukup modis.
Setelah Wied agak surut, ada jeda selama satu dekade. Komikus perempuan baru bermunculan pada era tahun 1990-an. Mereka umumnya tergabung dalam komunitas komik yang tumbuh di kalangan mahasiswa seni, terutama di Yogyakarta. Pada tahun 1997, misalnya, hadir Apotik Komik, yang juga mengangkat nama komikus perempuan, seperti Ade Tanesia. Ada juga Bedebah Komik, komunitas yang diikuti antara lain oleh Irene Agrivina dan Santi Ariestyowanti.
Komikus perempuan semakin terlihat pada era tahun 2000-an. Cukup banyak nama yang bisa disebut saat ini. Ambil contoh, Tsalitsa Kamila, lulusan seni dan desain di Institut Teknologi Bandung (2014-2018) yang tergabung dalam Studio Kolamsusu, Bandung. Gambar-gambarnya menampilkan adegan yang bergerak, nyaris tanpa teks. Setidaknya itu terlihat dari karyanya, "Kids from Yesterday: Passage of Tracks (2022).
Geser ke Salatiga, Jawa Tengah, ada Msekarayu yang lancar bercerita tentang kegiatan ngopi yang dilakukan oleh ibu-ibu. Aktivitas minum kopi tak hanya dipotret sebagai gaya hidup kekinian, melainkan sebagai upaya untuk mengambil jeda sejenak dari rutintas sehari-hari kaum perempuan. Dengan gambar-gambar yang santai, karakter perempuan sedang ngopi terasa lebih apik.
Masih tentang kehidupan perempuan, Sanchia Hamidjaja memvisualkan tulisan Mar Galo dalam serial "Problema Nona". Diterbitkan sebagai komik strip di Instagram, serial ini mengulik keseharian perempuan dalam bermacam kegiatan. Perempuan sedang bekerja, pulang kantor, atau di rumah. Tak perlu tema besar, hal-hal kecil bisa jadi perhatian.
Sedikit berbeda, Laras Putri coba menyelami geliat musisi dalam "Romansa Anak Band" (2018). Gambar-gambarnya memperlihatkan bagaimana awak band berbagi peran dalam mengembangkan pentas musik yang hidup.
Satu contoh lagi, Winchestermeg, seorang ilustrator asal Temanggung, Jawa Tengah. Dalam komik, "Artbook out of Style" (2023), dia menyuguhkan komik pendek dan ilustrasi tentang tiga karakter perempuan Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Mereka belajar, membantu orang tua mengurus rumah, atau merayakan Lebaran. Gambarnya segar.
Para komikus perempuan itu menunjukkan energi besar dalam pergulatan komik di Indonesia. Meski bukan menjadi arus utama, tetapi karya-karya mereka mencerminkan metamorfose terkini komik kita di tengah serbuan manga asal Jepang, komik dari Amerika, atau pengaruh dengan gaya hidup ala Korean Pop. Ada upaya untuk mengembangkan narasi dan visual komik yang relevan dengan beradaptasi pada estetika masa kini, sembari tetap bertumbuh dari tema keseharian.
Selain mengandalkan material lama, seperti tinta atau cat air atau akrilik, mereka juga terampil memanfaatkan teknologi digital untuk menghasilkan gambar-gambar yang lebih detail dan berwarna-warni. Mereka memiliki banyak pilihan publikasi komiknya, mulai dari cetak, digital, website (bisa disebut webtoon), sampai melalui platform media sosial, terutama Instagram dan kini TikTok.
Meski disajikan dengan estetika dan modus publikasi yang beragam, ada satu semangat yang kental dari karya-karya komikus perempuan. Entah disadari atau tidak, mereka cenderung bercerita dengan perspektif yang lebih memihak perempuan. Karakter perempuan tak lagi menjadi obyek, melainkan subyek yang menentukan jalan cerita. Sudut pendang ini tentu berbeda dibandingkan narasi komik karya laki-laki yang selama ini cenderung patriakhis, menempatkan perempuan sebagai obyek.
Sebagian karya komikus perempuan itu kini ditampilkan dalam "Pameran Komik Perempuan: Daya Dara" di Bentara Budaya Yogyakarta, 25-31 Juli 2024. Diksi "Daya Dara" sengaja dipilih untuk menunjukkan para dara (gadis, perempuan) yang berdaya (unjuk kekuatan) lewat karya-karya komiknya. Ada dorongan agar perempuan menempatkan diri sebagai aktor dalam ceritanya sendiri.
Terima kasih kepada para komikus yang ambil bagian dari pameran ini: Wied Sendjayani, Apitnobaka, Dhean De Nauli, Diesta NS, Ella Elviana, Hai Rembulan, Jasmine H. Surkattyy, Jes dan Cin Wibowo, Kathrinna Rakhmavika, Laras Putri, Msekarayu, Problema Nona, Taiga Bluet, Tsalitsa Kamila, Ula Zuhra, Winchestermeg, Yupit. Penghargaan untuk Terra Bajraghosa dan Lily Elserisa yang menjadi kurator dan ko-kurator pergelaran ini. Juga salut buat teman-teman di Bentara Budaya Yogyakarta yang mewujudkan program ini.
Palmerah, 24 Juli 2024
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia