Menelisik Realisme Cinta Jawa
Sampul buku menggambarkan semangat zaman. Apa yang dirancang seorang desainer atau ilustrator sebagai cover buku tak lepas, atau bahkan mewakili, cara pandang masyarakat pada zamannya. Jika dicermati, setiap cover buku sejatinya juga dapat diproyeksikan untuk meneropong gejala sosial masyarakat.
Kesan itu terbaca saat melihat puluhan cover buku dalam "Pameran Cover Novel Jawa Modern" di Bentara Budaya Yogyakarta, 21-28 Mei 2024. Total ada 80-an cover buku yang ditampilkan, terbitan tahun 1950-an sampai 1970-an. Paling banyak, terbitan tahun 1964 sampai 1966. Buku-buku ini merupakan novel dalam Bahasa Jawa yang ditulis sejumlah pengarang, seperti Any Asmara, Widi Widayat, Suparto Brata, R Moch Soedjadi Madinah, Suparto Brata, dan Shoedarma KD.
Novel-novel itu umumnya mengangkat romantika cinta sepasang kekasih. Alur cinta diceritakan sebagai drama yang menarik dengan balutan berbagai ketegangan atau konflik yang diramu dalam landskap kehidupan sehari-hari, seperti geliat perjuangan kemerdekaan, suasana kota, atau perkantoran.
Buku-buku itu diterbitkan beberapa penerbitan yang tersebar kota-kota di Jawa. Sebut saja, antara lain, penerbit Panjebar Semangat dari Surabaya (Jawa Timur), Djaja Badja dari Surabaya (Jawa Timur), Ganefo dari Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan CV Dharma dari Semarang (Jawa Tengah). Para penerbit cukup serius menyiapkan sampul buku terlihat dari upaya menggandeng para ilustrator popular pada masanya, seperti Kentardjo dari Yogyakarta, Kwik Ing Hoo, atau Jono S Wijono dari Solo.
Pameran ini kian lengkap dengan disertakannya kliping majalah yang mengulas buku-buku yang diterbitkan, tentang pengarang, atau seputar iustrator penggarap rancangan sampul buku. Semua itu membantu memberikan pemahaman terkait konteks sosial saat buku diterbitkan atau memaparkan latar belakang penulisan karya atau ilustratornya. Kliping itu di antaranya diambil dari Majalah Panjebar Semangat dari Surabaya, Jayabaya (Surabaya), Djaka Lodhang (Yogyakarta), Mekar Sari (Yogyakarta), dan Balai Poestaka (Jakarta).
Kembali ke tampilan sampul buku. Secara umum para desainer atau ilustrator sampul buku itu berusaha menerjemahkan inti kisah cinta yang dalam novel melalui gambaran yang mudah dipahami sekaligus menarik publik. Jalan paling simpel, gambaran itu disajikan dengan pendekatan realisme (penggambaran secara apa adanya), terkadang dengan memvisualkan diksi atau kata per kata dari judul novel.
Ambil satu contoh. Novel berjudul "Sega Liwet Balapan" karya Hoedjaja MS, penerbit BW. Sampul buku menampilkan seorang perempuan Jawa dengan kebaya warna kuning dengan rambut disanggul rapi. Di dekatnya, tengah berjalan beriringan sepasang kekasih (pria dan Wanita) dengan dandanan modern. Agak di belakang, ada perempuan Jawa sedang menyendok nasi (seperti nasi liwet). Di depannya, ]seorang pelanggan menunggu hidangan nasi.
Contoh lain. Novel "Tape Aju Seka Sala" oleh Hardjono Hp, penerbit Buku Kantong Aneka. Sampul bukunya menampilkan seorang perempuan berwajah ayu (cantik) sedang menjajakan tape di keranjang bambu. Dandanannya khas Jawa: atasan pakai kebaya dan bawahannya jarik batik.
Pendekatan serupa terlihat pada novel "Asu Edan Nggawa Kabegjan (Kapten Gunawan)" karya R Moch Soedjadi Madinah. Sampul buku benar-benar menggambarkan seekor anjing (asu) bermata merah yang menjulurkan lidah (berkarakter edan). Di belakangnya, ada sosok perempuan Jawa berkebaya putih dengan rambut disanggul yang berteriak, seperti ngeri melihat anjing itu. Jauh di latar belakang, terlihat seorang tentara tengah melayang di terjun paying (menggambarkan kapten).
Begitu pula dengan novel "Ssst.. Adja Kanda-kanda", karya Any Asmara, penerbit 2A. "Ssst" divisualkan dalam cover buku dengan menampilkan seorang lelaki yang menutup mulutnya dengan telunjuk sebagai tanda tidak boleh bicara. Di depannya, ada sosok perempuan muda berambut pendek dan berbaju modern dengan lengan pendek, sambil menenteng jaket merah.
Contoh-contoh sampul buku itu menunjukkan, para ilustrator perancang sampul buku memiliki kemampuan dasar menggambar yang baik. Judul atau cerita novel serta mert divisualkan dalam gambaran sosok-sosok realis (nyata) sebagaimana ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sisi akurasi torso, wajah, dan proporsi tubuh manusia yang ditampilkan dalam ampul buku, gambar-gambar itu tampak beres.
Pendekatan realisme semacam itu terasa masih menyimpan jejak gaya cover buku atau poster di Nusantara pada masa kolonialisme (penjajahan). Para perancang atau ilustratornya pada masa itu berasal dari seniman atau desainer ekspariat, terutama Belanda, yang pernah bekerja di Jawa atau Sumatera. Rupanya setelah kemerdekaan, pengaruh gaya itu masih berlanjut.
Sebenarnya kita juga dapat menemukan pengaruh gambar komik pada sampul buku. Dari cara penggambaran sosok-sosok manusia pada sampul buku, kita bisa menemukan pengolahan visual ala para komikus yang mulau berjaya era itu. Sebut saja, di antaranya, RA Kosasih dengan komik wayang (seperti "Mahabarata"), Ganes TH ("Si Buta dari Gua Hantu"), Hans Jaladara ("Panji Tengkorak"), Jan Mintaraga ("Jakalola"), Hasmi ("Gundala Putra Petir"), Wid NS ("Godam"), atau Taguan Hardjo ("Morina").
Tentu, sampul buku cenderung dibuat lebih simpel ketimbang halaman komik yang kompleks. Namun, goresan, postur manusia, dan "angle" sampul buku bisa mengingatkan pada gambaran adegan di komik-komik itu. Pengaruh-memengaruhi merupakan hal lumrah yang terjadi di antara para seniman yang hidup sezaman.
Menyaksikan pola cover buku novel Jawa pada pameran ini, kita seakan diajak masuk dalam kehidupan di Jawa tahun 1950-an sampai 1970-an. Soal pakaian, misalnya, kita menemukan sosok-sosok perempuan berpakaian Jawa (kebaya, jarik batik, rambut sanggul). Namun, saat berbarengan, ada juga sosok-sosok perempuan yang berpenampilan lebih modern dengan mengenakan baju kantoran, rambut pendek, dan bawahan yang simpel.
Sosok-sosok lelaki yang hadir juga mewakili gambaran masa itu. Mereka memiliki profesi beragam, mulai dari pengusaha, tantara, pemuka agama, atau musisi. Pada sampul buku, Sebagian mereka dihadirkan lengkap dengan latar belakang lingkungannya.
Satu hal yang menarik adalah soal standar kecantikan. Dalam hampir semua sampul novel, perempuan cantik cenderung digambarkan sebagai sosok yang padat berisi, dada penuh, pantat besar. Wajahnya cenderung bulat, mata agak belok, dan rambut disanggul rapi. Apakah standar kecantikan masa tahun 1950-an sampai 1970-an itu memang demikian? Ini bisa didiskusikan lebih lanjut.
Terima kasih kepada kurator Bentara Budaya di Yogyakarta, Romo Sindhunata dan Mas Hermanu, yang mengusahakan pameran ini. Penghargaan buat tim Bentara di Yogyakarta yang mengelola teknis pameran sehingga terlaksana secara baik. Apresiasi kepada semua pihak yang turut memberi support untuk kegiatan ini.
Palmerah, 21 Mei 2024
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management
Corporate Communication Kompas Gramedia